Minggu, 29 April 2012

KOMPETENSI DALAM BERETORIKA: PERSIAPAN DALAM BERBICARA

Bagaimana menjadi seorang pembicara yang handal: efektif, argumentatif, persuasif, dan simpatik? BAB I PENDAHULUAN
Setiap orang dapat mengembangkan bakat sendiri, asalkan orang tersebut Mempunyai kemauan untuk belajar, dan melakukannya sendiri, karena berbicara di depan umum hakekatnya sebagai “seni bicara” (Dr. Dale Carnigie)
Retorika mulai dikenal pada tahun 465 SM, ketika Corax menulis makalah bejudul Techne Lagon (Seni kata-kata)nyang dinamakan Teori Techno Logon (Seni Kata-Kata). Praktisnya begini; seandainya ada seorang tokoh agama yang dituduh melakukan pencabulan, misalnya, untuk membela diri akan dikatakan, “Saya ini orang yang paham agama, saya tahu halal dan haram, saya tahu berzina itu haram, manalah mungkin saya melakukan tindakan keji yang telah diharamkan oleh agama. Lagipula saya sudah berumah tangga dan istri saya lebih cantik daripada perempuan yang menuduh saya menzinahinya.”. Retorika (rhetoric) secara harfiyah artinya berpidato atau kepandaian berbicara. Kini lebih dikenal dengan nama Public Speaking. Dewasa ini retorika cenderung dipahami sebagai “omong kosong” atau “permainan kata-kata” (“words games”), juga bermakna propaganda (mempengaruhi atau mengendalikan pemikiran-perilaku orang lain). Teknik propaganda “Words Games” terdiri dari Name Calling (pemberian julukan buruk, labelling theory), Glittering Generalities (kebalikan dari name calling, yakni penjulukan dengan label asosiatif bercitra baik), dan Eufemism (penghalusan kata untuk menghindari kesan buruk atau menyembunyikan fakta sesungguhnya). Ada pandangan dalam masyarakat bahwa kemampuan seseorang berbicara di depan umum adalah bakat bawaan dari lahir dan hanya dimiliki oleh orang - orang tertentu saja. Berbicara di depan umum/ public speaking, baik itu dalam acara pernikahan, ulang tahun, peresmian kantor, acara penghargaan, pidato sambutan, kesaksian produk/ kesuksesan dan lainnya menjadi momok yang begitu menakutkan bagi sebagian besar orang, bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia. Beberapa manajer / eksekutif / owner perusahaan, leader Network marketing, pimpinan organisasi yang sempat saya temui, mengatakan mereka tidak berbakat / tidak bisa berbicara di depan umum dan cenderung kalau bisa menghindari berbicara di depan umum. Yang lebih parah lagi adalah para pelajar / mahasiswa yang merupakan generasi penerus bangsa ini, hampir sebagian besar yang saya jumpai tidak tertarik dengan yang namanya Seminar / Pelatihan. Alasan mereka sederhana saja, karena dalam bayangan mereka acara seperti itu membosankan. Benarkah keahlian berbicara di depan umum/public speaking adalah bakat ? Ada ungkapan bijak mengatakan bahwa Bakat itu 1 %, 99 % lainnya adalah Ketekunan dan Cara / metode. BAB II. PEMBAHASAN
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka.” (HR. Muslim) “Belajarlah Seni Bicara, Maka anda akan menguasai Keadaan” (Hyerogrlih batu piramide Mesir Kuno) “Suatu Percakapan Yang anda lakukan dengan siapapun haruslah anda pandang sebagai bagian dari berbagai peristiwa yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan kita” (DR. J. F. Shipley)
Sebagian besar orang yang kesulitan berbicara di depan umum ( Public Speaking ) berasal dari cara berpikir yang kurang benar. Cara berpikir yang cepat sekali menvonis, menilai segala sesuatu itu benar atau salah, 0 atau 100. Cara berpikir konservatif seperti itu seharusnya ditinggalkan Peningkatan kecerdasan manusia yang terus menerus terjadi menyadarkan kita bahwa segala sesuatu itu relatif adanya. Di pandang dari sudut manusia, tidak ada nilai mutlak, tidak ada benar semua atau salah semua. Segala sesuatu yang akan anda lakukan bermula dari apa yang anda pikirkan. Demikian pula dalam hal Public Speaking. Ketakutan untuk Public Speaking bisa melanda siapa saja;muda tua dan apapun profesinya;pelajar, mahasiswa, sekretaris, guru, dosen, networker, agen asuransi, manager, direktur, pemilik usaha dan lainnya. Tuhan sungguh telah menyempurnakan kebahagiaan hidup kita dengan kemampuan berbicara. Sayangnya, tidak setiap kita mampu berbicara dengan baik, apalagi handal. Sebagian besar kita jutstru hanya bisa berbicara dalam logika yang lemah, bahasa yang kacau, tanpa makna, omong kosong, dan sia-sia belaka. Sebagian orang mempersepsikan bahwa orang yang handal berbicara adalah orang yang sukses berbicara ketika berada di depan publik, seperti berceramah, berpidato, presentasi, dan seterusnya. Pembicara yang hebat dan sukses adalah pembicara yang mampu berbicara memikat di depan publik, yang mencerminkan kehebatan logika, kekuatan bahasa, gaya bahasa, dan bahasa tubuh. Persepsi tersebut memang tidak salah, sekalipun juga harus diketahui bahwa pembicara yang handal juga harus mampu berbicara dengan baik, memikat, dan bisa mempengaruhi lawan bicaranya dalam hal-hal yang bersifat privat (pribadi), seperti berbicara dengan istri/suami, anak, sahabat, orang tua, dan seterusnya untuk tujuan profesional (bisnis, relasi, akademik, dll) ataupun privat (keluarga, persahabatan, dan cinta) dengan berbasiskan pada etika, moral, agama, dan psikologi lawan bicara. Sehingga mampu menguasai prinsip-prinsip berbicara, prinsip-prinsip pendengar, dan menjadikan prinsip kebenaran dan keadilan sebagai fondasi utama dalam berbicara. Hal ini sangat penting agar terhindar dari kekacauan-kekacauan beretika dan berbahasa dalam menyampaikan makna berbicara dan terhindar dari pembicaraan yang merendahkan, menjatuhkan, dan apalagi tanpa makna. Oleh karena itu suatu bentuk komunikasi yang ingin disampaikan secara efektif dan efisien akan lebih ditekankan pada kemampuan berbahasa secara lisan. Suatu komunikasi akan tetap bertitik tolak dari beberapa macam prinsip. Prinsip-prinsip dasar itu adalah sebagai berikut : • Penguasaan secara aktif sejumlah besar kosakata bahasa yang dikuasainya. Semakin besar jumlah kosa kata yang dikuasai secara aktif semakin besar kemampuan memilih kata-kata yang tepat dan sesuai untuk menyampaikan pikiran • Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan yang memungkinkan pembicara menggunakan bermacam-macam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda. • Mengenal dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa dan mampu menciptakan gaya yang hidup dan baru untuk lebih menarik perhtian pendengar dan lebih memudahkan penyampaian pikiran pembicara. • Memiliki kemampuan penalaran yang baik sehingga pikiran pembicara dapat disajikan dalam suatu urutan yang teratur dan logis. Menurut Kenneth Burke, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu mendramatisir terhadap pembicara, sedangkan menurut Walter Fisher bahwa setiap komunikasi adalah bentuk dari cerita (storytelling). Karenanya, jika kita mampu bercerita sesungguhnya kita punya potensi untuk menjadi pembicara yang baik. Ada 6 hal yang perlu dipersiapkan dalam berbicara efektif, yaitu: mengapa, siapa, di mana, kapan, apa dan bagaimana. Mengapa: Menetapkan Sasaran, Penetapan sasaran sangat membantu dalam menentukan arah pembicaraan dan juga bermanfaat dalam memilih bahan yang sesuai dengan sasaran. Pada umumnya sasaran pembicaraan dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan, misalnya presentasi tugas, memimpin rapat, mengisi kajian, dan sebagainya. Siapa: Pendengar, Meneliti apa dan siapa pendengar dapat membantu dalam menetapkan bahan yang akan disampaikan dan meyakinkan diri Anda bahwa Anda menyampaikan bahan pembicaraan kepada pendengar yang tepat. Hal yang perlu diketahui dari sidang pendengar antara lain: Berapa banyak orang yang hadir? Mengapa mereka hadir di ruang tersebut? Bagaimana tingkat pengetahuan yang mereka miliki atas topik pembicaraan? Apa harapan mereka atas topik pembicaraan? Bagaimana usia, pendidikan, dan jenis kelamin mereka? Di Mana: Tempat dan Sarana, Penting untuk mengetahui dan memperhatikan tempat pembicaraan akan dilaksanakan. Berikut ini beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi pembicara : Melakukan praktek, Apabila pembicaraan dilaksanakan pada ruang yang besar dan luas, maka akan lebih baik untuk mencoba suara terlebih dahulu, sebelum betul-betul berbicara di depan sidang pendengar. Mempelajari sarana yang tersedia. Meneliti gangguan yang mungkin timbul, Anda perlu mewaspadai gangguan yang mungkin timbul, misalnya pembicaraan dilakukan dekat jalan raya sehingga suaramu harus dapat mengalahkan suara kendaraan yang lewat. dan Tata letak tempat duduk, perlu diperhatikan, diatur, dipersiapkan, dan dikaitkan dengan sasaran pembicaraan. Kapan: Waktu, Berapa lama waktu yang diperlukan dalam pembicaraan? perlu memperhatikan manajemen waktu misalnya waktu untuk pembahasan, waktu istirahat, atau waktu tanya jawab. Agar punya manajemen waktu yang baik, maka perlu latihan terlebih dulu. Masalah konsentrasi, Sangat sulit bagi pendengar untuk berkonsentrasi penuh selama lebih dari 2 jam. Apalagi bila mereka merasa bahwa pembicaraan Anda tidak menarik, tidak bermanfaat, dan tidak berminat. Umumnya seseorang dapat berkonsentrasi penuh pada 20 menit di awal pembicaraan, setelah itu konsentrasi akan menurun sedikit demi sedikit. Apa: Bahan yang Akan Digunakan, Agar sasaran pembicaraan dapat dicapai, maka persiapan bahan perlu dilakukan. Berikut ini beberapa saran dalam pemilihan bahan: Susunlah pokok-pokok pembicaraan. Sebaiknya pada 45 menit pertama jangan terlalu banyak pokok-pokok yang akan disampaikan. Dalam pemilihan bahan perlu diperhatikan: sasaran pembicaraan, waktu yang tersedia, pendengar, mana bahan yang harus diberikan dan bahan yang tidak perlu diberikan; Gunakan contoh, Sederhanakan informasi yang sulit dan kompleks. Gunakan juga contoh-contoh yang benar-benar terjadi dan kaitkan dengan pokok-pokok yang ingin disampaikan; Membuka dan menutup pembicaraan, agar dapat menimbulkan minat pendengar, dapat menimbulkan rasa butuh dari pendengar, dapat menjelaskan garis besar dan sasaran pembicaraan. Dalam menutup pembicaraan, Anda harus dapat menyimpulkan hal-hal yang telah dibicarakan. Membuat catatan-catatan apa yang ingin dibicarakan. Bagaimana: Teknik Penyampaian, Penggunaan kata merupakan basis komunikasi, tetapi dalam kenyataannya keberhasilan dalam pembicaraan tidak hanya ditentukan dari penggunaan kata saja, tetapi justru penggunaan nonkata. Bicara di depan umum yang berhasil seharusnya memenuhi persentase kontribusi sebagai berikut : 7%: penggunaan kata, 38%: penggunaan nada dan suara, 55%: penggunaan ekspresi muka, bahasa tubuh, dan gerakan tubuh. Pemilihan kata, Kata-kata yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan taraf pendengar, begitu juga penggunaan istilah. Sadari bahwa penggunaan kata-kata yang tidak tepat akan menimbulkan masalah. Teknik penyampaian berita, Tidak banyak orang yang mampu menyampaikan berita dengan efektif. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan berita, antara lain: Gunakan ekspresi dan intonasi yang tepat. Diam sejenak untuk membantu peserta agar dapat mencerna materi yang sudah diterima. Bicara dengan jelas dan teratur. Bicara dengan volume memadai; Bahasa tubuh, Di samping penyampaian dengan menggunakan kata, maka kesuksesan dalam pembicaraan justru bergantung pada hal yang non kata, seperti: gerakan tubuh, tangan, kontak mata, cara berdiri, dan ekspresi muka. Jangan terpaku di satu tempat seperti patung atau sibuk membaca catatan. Aristoteles mengungkapkan gagasannya yang dikenal dengan Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric), antara lain: 1. Inventio (penemuan), dimana pembicara mengidentifikasi khalayak guna mengatahui metode persuasi apa yang paling tepat. Ada tiga cara untuk mempersuasi manusia, yaitu: ethos (memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, status terhormat), pathos (mampu menyentuh hati khalayak dengan perasaan, emosi, harapan, kebencian, dan kasih sayang), logos ( mengajukan bukti atau argumen yang kelihatan sebagai bukti) 2. Dispositio (penyusunan), pembicara mengorganisir pesan dalam menyusun pidato dengan melakukan taxis (pembagian) sehingga menjadi laur yang logis seperti: pengantar, pernyataaan, argumen dan epilog. 3. Elucotio (memori), pembicara harus mengingat-ingat apa yang disampaikannya dan mengatur bahan pembicaraannya, dikenal juga dengan metode “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. 4. Pronuntiatio (penyampaian), pembicara menyampaikan pesannya secara lisan, dengan melakukan peran melalui intonasi suara dan gerakan badan. BAB III PENUTUP Bagaimana agar dapat berbicara simpatik, argumentative dan meyakinkan? yang paling utama adalah percaya akan kemampuan diri, disamping harus memperhatikan unsur unsur sebagai berikut: Vokal (Volume Tinggi rendahnya suara, tentukan batas paling keras, paling lemah dengan patokan: besar gedung, jumlah public; Artikulasi Pengucapan masing masing huruf dan suku kata harus jelas, suku kata tidak boleh tertelan, hindarkan bunyi sengau; Infleksion Lagu / lentur pengucapan kalimat: tekanan nada, dinamik dan tempo; Pause Istirahat secara sadar. Gunanya untuk penekanan kata, mempersiapkan kata berikutnya mengatur nafas, menarik nafas dan tehnik penjiwaan) dan Fisik (Pose Sikap badan keseluruhan; Mimik Perubahan raut wajah, misalnya senyum yang wajar, mengerutkan kening sewaktu serius; Gesture gerak anggota badan hindari yang berlebihan; Movement dari duduk ke berdiri, berdiri dari kiri ke kanan, kesamping dan sebagainya) Proses To start of fire (membangun pendengar agar tertarik perhatiannya); To build a bridge (membangun jalan pikiran dengan pendengarnya); For instance (Confiratio (Positif), Refutation (negatif); dan So what, Membuat kesimpulan dapat menjadi panduan bagaimana menjadi pembicara yang handal. Namun, Kunci suksesnya terpantul kembali pada pribadi pembicara. Apabila pembicara adalah orang yang telah Mempunyai reputasi baik, pandangannya, loyalitas, integritas dan semangatnya serta sifat sifat lain yang terpercaya maka jaminan kesuksesan pembicara untuk mempengaruhi orang lain atau mereka yang diajak berbicara. Sukses dalam mempengaruhi dengan jalan pendekatan persuasi agar yang diajak bicara, tertarik, faham kemudian tergerak pada tindakan yang dikehendaki.
“Seorang ahli pidato yang ulungpun memulai riwayatnya dengan mengadakan suatu perjuangan didalam melawan demam pentas, perasaan malu, perasaan cemas dihadapan para pendengarnya”(Dr. Dale Carnigie)
DAFTAR BACAAN: Anjali, Aba. Panduan Lengkap Menjadi Pembicara Handal. Juni 2008 : Diva Press Carnigie, Dale. Bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi orang lain.Terj. 1995. Jakarta: Binarupa Aksara Rakhmat, Jalaluddin. Retorika Modern. 1999. Bandung: Rosdakarya. http://wirawax.wordpress.com/2006/11/28/bicara-efektif-di-muka-umum/ http://nesaci.com/pengertian-dan-prinsip-dasar-retorika/ http://qousa.wordpress.com/2012/03/25/dakwah-vs-retorika-kosong/ http://bhasafm.com/2011/04/tehnik-dan-seni-berbicara-didepan-umum/ http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2224443-retorika/#ixzz1cbJ48dM3

KARANGAN DENGAN TEKNIK PERBANDINGAN DAN TEKNIK ANALOGI (TEMA: PERGURUAN TINGGI)

Jenis Karangan : Eksposisi Teknik Penulisan: Teknik perbandingan langsung Tema : Perguruan Tinggi Judul :Usaha Perguruan Tinggi dalam Meningkatkan Kualitas Lulusannya
Usaha Perguruan Tinggi dalam Meningkatkan Kualitas Lulusannya Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang dapat disamakan dengan pabrik kendaraan bermotor. seperti halnya perguruan tinggi yang menjamur dengan berbagai nama, pabrik kendaraan motor pun mulai mewarnai pasar dengan berbagai merek. Jika perguruan tinggi mengeluarkan lulusan-lulusannya untuk mengabdi kepada masyarakat, maka pabrik kendaraan bermotor Honda mengeluarkan berbagai produknya yang bertujuan untuk memberikan apa yang diinginkan masyarakat. Misalnya, suatu perguruan tinggi seperti UIN Sunan Gunung Djati Bandung diibaratkan seperti pabrik kendaraan bermotor Honda. Pabrik tersebut menghasilkan berbagai macam produk, seperti: Honda jazz, Vario, Honda beat, Honda Kharisma, Mega pro, CRV, Freed, Rrevo, Supra fit, Scoopy, dll. seperti halnya suatu perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan-lulusan dari berbagai jurusan yang dimilikinya misalnya, Sarjana Komunikasi Islam, Sarjana Ekonomi, Sarjana Pendidikan, Sarjana Agama, Sarjana Kedokteran, Sarjana Hukum, dll. Masyarakat sebagai sekelompok masyarakat yang menggunakan jasa para sarjana diibaratkan sebagai pengguna kendaraan. Mereka menyeleksi, memilah dan memilih jasa para sarjana sesuai dengan kebutuhannya. Dalam memilih kendaraan yang akan dibeli dan atau pun dipergunakan, masyarakat tentu mempertimbangkan selera, budget, model dan desain mobil, kondisi mesin, kecepatan, penggunaan BBM, dll. Sama halnya dengan memilih para sarjana yang merupakan lulusan dari perguruan tinggi. tentu masyarakat akan mempertimbangkan disiplin ilmu yang sesuai dengan pekerjaaannya, minat, kemampuan intelektual, loyalitas, etos kerja, kreativitas, penampilan, dan budi pekertinya. Oleh karena itu, dalam proses pembuatannya setiap produk kendaraan bermotor mempertimbangkan keadaan pasar. Apa yang diinginkan konsumen berusaha diwujudkan melalui berbagai riset untuk meningkatkan kualitas produk. Begitupun perguruan tinggi, mencoba metode-metode pembelajaran untuk meningkatkan kualitas lulusan-lulusanya. Perakitan mobil yang dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional yang diibaratkan sebagai proses belajar yang dilakukan oleh mahasiswa dengan bantuan para dosen yang terdidik dan terlatih. Di dalam proses belajar tersebut, para mahasiswa mengalami rintangan seperti kesulitan ekonomi, kesulitan memahami pelajaran, dan sebagainya. Demikian halnya dalam perakitan mobil, mesin-mesin yang kurang berfungsi dengan baik, tersendatnya modal, serta kesulitan bahan baku menjadi rintangan tersendiri di dalam peluncuran produk baru. Pada bagian akhir, uji emisi dan kelayakan kendaraan seperti ujian komprehensif bagi mahasiswa merupakan suatu tingkatan akhir untuk menentukan kualitas. proses tersebut merupakan suatu usaha untuk memberikan kepada masyarakat produk-produk unggulan yang memang sesuai dengan kebutuhan. Suatu perguruan tinggi yang berhasil mencetak lulusan yang berkualitas tentu akan mendapat penilaian yang tinggi dari masyarakat, sebagaimana masyarakat juga menilai tinggi terhadap pabrik kendaraan bermotor Honda yang menghasilkan produksi dengan mutu yang baik. pabrik penghasil produksi yang bermutu itu akan dikenal masyarakat dan apabila tetap dapat mempertahankan bahkan meningkatkan mutunya, ia akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Begitu pula halnya dengan perguruan tinggi. bila lulusannya bermutu maka mudah mencari pekerjaan karena lulusannya memang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, perguruan tinggi tersebut akan mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat. bila perguruan tinggi itu dapat mempertahankan mutu lulusan-lulusannya, tentu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat.
Jenis Karangan :Eksposisi Teknik Penulisan:Teknik perbandingan langsung Tema :Perguruan Tinggi Judul :Kualifikasi Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Kedinasan Sebagai Bahan Pertimbangan Calon Mahasiswa
Kualifikasi Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Kedinasan Sebagai Bahan Pertimbangan Calon Mahasiswa Musim penerimaan mahasiswa baru angkatan 2012 yang dilakukan oleh semua bentuk Perguruan Tinggi sudah mulai dibuka, para siswa di setiap SMA/SMK merasakan euforia dan ikut andil didalamnya. Para calon mahasiswa ini memilih perguruan tinggi sesuai dengan minat dan bakatnya. Namun, dalam proses pemilihannya para mahasiswa mengalami kebingungan tersendiri. Mengapa? karena banyaknya bentuk perguruan tinggi. Secara umum, menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 dalam Pasal 6 butir (1) bahwa Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi, yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas. Berdasarkan definisinya, Perguruan Tinggi diartikan sebagai lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di atas sekolah tingkat menengah/lanjutan atas dan yang memberikan pendidikan berdasarkan kebangsaan dengan cara ilmiah. Menurut jenisnya, Perguruan Tinggi Umum terbagi menjadi dua yaitu Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta .Perguruan Tinggi Negeri adalah Perguruan Tinggi yang dimiliki dan dikelola oleh Negara dan Pendiriannya dilakukan oleh Presiden RI. Sedangkan, Perguruan Tinggi Swasta adalah Perguruan Tinggi yang dikelola oleh Badan Hukum Swasta & di bawah koordinasi Kopertis masing-masing wilayah. Sedangkan Perguruan Tinggi Kedinasan merupakan perguruan Tinggi khusus yang didirikan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan pegawai di Instansi pemerintah. Ada beberapa perbandingan signifikan di dalam Perguruan Tinggi Umum (PTU) dan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Hal ini dapat ditinjau berdasarkan jalur penerimaan, biaya perkuliahan, sistem pendidikan, dan lulusan-lulusannya. Pada umumnya jalur penerimaan mahasiswa baru bagi universitas umum adalah melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang diadakan secara serentak secara nasional. namun sebagian kampus juga menggunakan jalur penerimaan dengan sistem ujian mandiri atau UM. Bahkan sebagian kampus lebih memprioritaskan penerimaan mahasiswa baru melalui sistem UM. Sementara itu, Sistem penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Kedinasan biasanya dilakukan secara sendiri-sendiri atau Ujian Saringan Masuk (USM) berdasarkan kalender akademik kampus masing masing. Kadang ada yang masa penerimaan mahasiswa baru lebih cepat dari Perguruan Tinggi Umum tetapi ada juga yang lebih lambat. Bahkan tes penerimaan diadakan setelah kampus lain sudah memasuki masa perkuliahan. Tingkat kelulusan di Perguruan Tinggi Kedinasan relatif kecil dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Umum karena jumlah pendaftar tergolong cukup banyak. bahkan salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan seperti STAN hanya menerima sekitar dua hingga tiga persen dari jumlah pendaftar. Biaya masuk kuliah di Perguruan Tinggi Umum, biayanya relatif, tergantung masing-masing kampus. terkadang ada yang murah tetapi ada juga yang biayanya sangat mahal. Bahkan tidak terjangkau bagi sebagian calon mahasiswa. Tentunya biaya yang paling mendasar adalah biaya uang masuk, SPP yang dibayar setiap semester, dan biaya lain lain berupa uang pembangunan dan biaya ekstra lainnya selama masa perkuliahan. Sedangkan di Perguruan Tinggi Kedinasan, hampir semua Perguruan Tinggi Kedinasan tidak membebankan biaya kepada mahasiswa. Mahasiswa mendapatkan uang saku selama pendidikan. Namun biaya lain masih menjadi tanggungan mahasiswa, terutama biaya hidup seperti makan, biaya kos/kontrakan dll. Namun sebagian besar Perguruan Tinggi Kedinasan sudah menyediakan asrama bagi mahasiswanya. Sistem pendidikan yang digunakan dalam Perguruan Tinggi Umum berorietasi pada pengembangan bidang ilmu tertentu. Artinya murni pada pengembangan mata kuliah yang dipilih sehingga pendidikan bersifat teoritis. Sedangkan dalam Perguruan Tinggi Kedinasan lebih mengutamakan Sistem pendidikan yang mengarah pada pembekalan kemampuan teknis, artinya mahasiswa diberikan pendidikan yang lebih fokus pada penerapan ilmu di dunia kerja (instansi pemerintahan). Dengan demikian, bagi calon mahasiswa yang ingin mengembangkan bidang ilmu sampai ke jenjang yang lebih tinggi, mungkin akan lebih baik jika memilih universitas umum. Sebab di dalam kedinasaan ada ketentuan yang mewajibkan lulusan bekerja/mengabdi selama beberapa tahun yang disebut masa ikatan dinas jadi selama waktu tersebut alumni tersebut tidak diberi izin melanjutkan kuliah. Selain itu, untuk melanjutkan kuliah harus memperoleh izin dari atasan maupun dari tingkat departemen/kementerian yang bersangkutan. Lulusan dari Perguruan Tinggi Umum tidak ada jaminan untuk mendapatkan pekerjaan kecuali jika sebelumnya sudah ada kontrak dengan pihak lain. Namun lulusan Perguruan Tinggi Umum memiliki kesempatan yang besar untuk langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak ada ketentuan yang mewajibkan bekerja terlebih dahulu. Akan tetapi, untuk lulusan Perguruan Tinggi Kedinasan sudah diberi jaminan pekerjaan yang pasti. karena memang pada dasarnya tujuan pendidikan Perguruan Tinggi Kedinasan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pada instansi pemerintah yang bersangkutan. Seperti halnya Perguruan Tinggi Umum, Perguraun Tinggi Kedinasan memuat mata kuliah yang diwajibkan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Keagamaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penyusunan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) keduanya diberikan hak untuk mengembangkan kurikulum yang telah diberikan pemerintah. Pemaparan yang telah diuraikan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan para calon mahasiswa dalam memilih perguruan tinggi yang sesui dengan minat dan bakatnya.

Minggu, 12 Februari 2012

PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT DI DAERAH JATINANGOR-KABUPATEN SUMEDANG

ARTIKEL-LAPORAN PENELITIAN

Masyarakat secara sosiologis merupakan suatu kumpulan orang yang memiliki tujuan bersama yang disatukan karena ikatan wilayah atau geografis maupun pemikiran. Seperti halnya makhluk hidup yang lain, masyarakat juga mengalami dinamikanya sendiri. Setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan-perubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.

Konsep Perubahan sosial sebagai realitas sosial dipahami sebagai perubahan dalam struktur social (sebagai suatu system berlapis-lapis dalam masyarakat. Sistem pelapisan dalam masyarakat terjadi karena adanya nilai yang dihargai oleh masyarakat yang jumlahnya terbatas.), yaitu perubahan yang menyangkut berbagai perkembangan dalam masyarakat. Perubahan budaya adalah perubahan yang terjadi pada nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Pengertian sekarang tentang perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi, baik pada struktur sosial maupun pada nilai dan norma dalam masyarakat.

Dampak ledakan penduduk dan industrialisasi di wilayah jatinangor karena adanya urbanisasi berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat. Hal ini penulis kategorikan ke dalam bentuk perubahan besar di dalam masyarakat jatinangor. Mengapa? Karena perubahan ini terjadi pada unsure-unsur struktur masyarakat yang membawa pengaruh langsung (berarti) bagi masyarakat. Bagaimanakah pengaruhnya? Sebelumnya, akan dipaparkan beberapa faktor pendorong yang mempengaruhi Perubahan social yang cukup pesat di dalam masyarakat jatinangor diantaranya:

a) Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain
Perkembangan pesat daerah jatinangor dibandingkan daerah-daerah lainnya di kabupaten sumedang dikarenakan letak demografis daerah ini yang cukup strategis. Suatu tempat transisi yang diwarnai hilir mudiknya pendatang (warga luar daerah maupun luar negeri) yang membawa sebuah kebudayaan dari yang hanya sekedar singgah maupun yang menetap karena tujuan ekonomi maupun pendidikan sehingga di daerah ini dinamika penduduk amat dinamis. Akibat adanya interaksi social ini, berimplikasi terhadap Adanya pengaruh suatu kebudayaan masyarakat yang dapat diterima tanpa paksaan (demonstration effect) yang menjadi sebab perubahan social di dalam masyarakat jatinangor.
b) Sistem Terbuka Masyarakat (Open Stratification)
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat jatinangor tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Masyarakat jatinangor yang termasuk masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan baru dalam masyarakat dalam upayanya untuk mencapai keselarasan sosial.
c) Orientasi ke Masa Depan
Kuliah yang diwarnai oleh tugas-tugas kemahasiswaan didukung oleh adanya penyediaan sarana oleh warga dengan membuka usaha untuk mengadakan fasilitas informasi melalui warung internet, rental, fotocopy, dll. Dengan adanya perkembangan teknologi di era globalisasi ini menuntut warga untuk mengenal dan memahami ilmu teknologi, informasi dan komunikasi. Proses belajar yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman ini merupakan wujud Pemikiran masyarakat jatinangor yang selalu berorientasi ke masa depan, selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru (discovery).
Berdasarkan realitas ini, Pola perubahan yang terjadi di masyarakat jatinangor ini terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. sesuai dengan Teori Evolusi yang diusung oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer yang melihat perubahan sosial berlangsung secara evolusi (perlahan dan bertahap) mengikuti perubahan yang linier atau menurut garis lurus dan melalui tahapan demi tahapan yang harus dilalui.
Sebelum 10 tahun terakhir kawasan Jatinangor (dahulu bernama cikeruh) yang merupakan perbatasan bandung-sumedang merupakan lahan perkebunan karet dan ladang petanian, sehingga sebagian penduduk bekerja sebagai petani. Namun seiring perkembangan yang terjadi, banyak warga yang menjual lahannya (kepentingan ekonomi) sehingga para petanipun beralih pekerjaan diluar sector pertanian seperti menjadi tukang bangunan, tukang ojek, pedagang, buruh pabrik, bahkan melakukan transmigrasi ke daerah yang masih memiliki lahan pertanian dikarenakan kawasan ini dinilai memiliki progress yang cukup baik.
Menurut pemaparan pengelola saung budaya, Lima tahun yang lalu di daerah jatinangor tepatnya di samping ikopin adanya pusat kegiatan seni sunda yang dinamakan saung budaya dimana setiap minggunya secara rutin diadakan kegiatan seni sunda sebahai sarana apresiasi seni rakyat dalam wujud tarian, seni gamelan, pameran lukisan dll. Namun, melihat perkembangan yang terjadi (prospek daerah ini cocok untuk kegiatan ekonomi) saung ini beralihfungsi menjadi foodcourt.
Seiring dengan hal tersebut, maka lahan petanian telah beralih fungsi dengan hampir 40% adalah komplek kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau IPDN, dan 20% digunakan sebagai perumahan yang dijadikan rumah kos-kosan mahasiswa dan sisanya merupakan komplek pesantren al-ashar yang menjadi tempat pendidikan untuk setingkat SMP dan SMA, bangunan sekolah tingkat SD-SMP-SMA serta arena olah raga, stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), hotel, perkantoran, dan pertokoan yang menyediakan barang dan jasa. Karena saat ini Di daerah jatinangor sebagian penduduknya berasal dari pendatang luar Desa Cibeusi termasuk para mahasiswa yang datang dari luar daerah maupun luar negeri (india, Pakistan, malaysia) yang menetap sebagai warga selama mengenyam pendidikan di kawasan ini.
Jalan-jalan lingkungan sudah tidak lagi berupa tanah, tetapi sudah berubah menjadi jalan aspal, batu maupun beton. sehingga penyerapan air semakin sulit. sebagian besar penduduk sudah banyak yang menggunakan sepeda motor karena jalanan sudah bagus. Dilingkungan sekitar pemukiman sudah jarang dilihat pohon-pohon perindang yang menjadi peneduh, karena sebagian besar lahan sudah dijadikan kos-kos-an

Jatinangor sebagai pusat pendidikan memunculkan banyak pendatang yang tujuannya menuntut ilmu sehingga memberikan peluang kepada penduduk pribumi untuk membuka lapangan kerja baru sehingga sector usaha kecil dan menengah mengalami perkembangan. Namun kedatangan orang-orang baru ini tidak hanya berdampak positif, karena mulai adanya kesenjangan antara kaum pribumi dengan pendatang melalui Perbedaan status sosial dan tingkat kemakmuran dalam masyarakat jatinangor secara tidak sadar mulai membentuk sebuah stratifikasi dimana adanya kelas masyarakat atas, menengah dan bawah sesuai faktor ekonomi dan pendidikan yang sinkron dengan kaum intelektual, para pedagang, buruh, dan pengusaha. Fenomena ini sesuai dengan asumsi dasar dalam Teori Konflik yang mengatakan bahwa setiap individu berpotensi mengadung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok) sehingga Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi (maksud disintegrasi menurut teori ini dinamakan perubahan social).

Kebutuhan akan rasa aman dan keamanan (save and safety needs) dan kebutuhan social (social needs) yang sesuai hierarki Abraham maslow yang tidak terpenuhi menimbulkan friksi kecil di dalam masyarakat Jatinangor dengan meningkatnya kriminalitas yang merupakan konflik pendorong perubahan social. Realita ini sejalan dengan Teori Kebutuhan Manusia yang Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Dan teori transformasi konflik yang Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Telah dijelaskan di depan bahwa perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. bentuk kemunduran akibat adanya perubahan sosial budaya terasa dengan Tergesernya bentuk-bentuk budaya lokal oleh budaya lain yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional dan Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama. Misalnya: Selama 10 tahun terakhir dengan banyaknya pendudukan atau warga pendatang yang berasal dari luar Desa Cibeusi, pada umumnya tidak bisa bahasa Sunda, menyebabkan warga setempat sudah meninggalkan bahasa Sunda dan lebih sering menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi antar penduduk dengan warga pendatang.

Peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat non agraris yang mengarah kepada masyarakat yang lebih kompleks mengubah pola prilaku masyarakat terutama nilai-nilai atau norma yang sejak dahulu berkembang di dalam masyarakat, mungkin sebagai implikasi tidak langsung dari modernisasi yang merupakan wujud dinamika social. Hal ini jelas terungkap terutama melihat berkurangnya nilai-nilai kesopanan yang cenderung ke arah individualistic.

Dari segi kesenian tradisional Sunda juga sudah tidak diajarkan disekolah-sekolah atau keluarga tetapi berganti dengan kesenian yang lebih popular. Seperti terlihat di salah satu sekolah SMP yang mengadakan pelatihan kesenian tradisional sudah tidak lagi mengajarkan kesenian Sunda tetapi mengajarkan kesenian dan lagu-lagu berbahasa Indonesia yang sedang trend di masyarakat.

Selain itu pakaian yang digunakan penduduk asli sudah tidak lagi menggunakan pakaian tradisional Sunda tetapi sudah menggunakan pakaian modern dan pakaian yang biasa digunakan oleh para pendatang. Prilaku penduduk setempat terutama para remajanya sudah mengikuti gaya hidup mahasiswa yang kos ditempat tersebut, seperti kehidupan malam, judi, merokok, minum-minuman bahkan pergaulan bebas. Sehingga banyak orang tua yang merasa khawatir dengan kondisi kehidupan remaja kedepannya kalau tidak diawasi atau dijaga.

Namun, Teori Struktural Fungsional yang memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang tediri dari unsur-unsur sistem. Tiap unsur saling berhubungan secara fungsional satu dengan lainnya, sehingga rusaknya salah salah satu unsur sistem akan menyebabkan jalannya sistem secara keseluruhan menjadi terganggu. Yang diperkenalkan oleh Robert K. Merton, Kingsley Davis dan Talcott Parsons. Dalam teori ini Perubahan sosial dianggap fungsional sejauh perubahan tersebut membawa dampak positif bagi masyarakatnya.

Masyarakat setempat sadar sebenarnya telah banyak terjadi perubahan baik dari secara fisik maupun sosial- budaya, akibat berdirinya kampus-kampus dan datangnya penduduk dari luar Desa Cibeusi dan dari mahasiswa yang kos ditempat tersebut. Untuk mempertahankan diri terhadap perubahan yang ada warga setempat tetap mempertahan adat-istiadat Sunda dengan mendidik anak-anak mereka dengan ajaran dan nilai-nilai Sunda. Pendidikan ini tidak diberikan secara formal disekolah tetapi diberikan di rumah masing-masing. Selain pendidikan ajaran dan nilai-nilai Sunda, masyarakat juga masih melestarikan tradisi dan adat dalam upacara kelahiran anak, perkawinan, kematian dan pertanian bahkan kegiatan keagamaan lainnya.
Penduduk asli Desa Cibeusi juga masih mempertahankan tradisi kegotong-royongan dalam kehidupan bermasyarakat seperti kerja bakti, menyantuni orang miskin, bencana, dan pembangunan desa lainnya. Ini dapat dilihat setiap minggu masih selalu diadakan kegiatan kerja bakti untuk memperbaiki fasilitas masyarakat. Aktivitas penduduk lainnya yang mencerminkan penduduk desa dan masyarakat Sunda, yaitu masih diadakan kegiatan pengajian bersama setiap malam jumat, dan pengajian akbar di mesjid besar. Beberapa mushola dan mesjid masih dipadati penduduk yang menjalankan tradisi ibadah sholat lima waktu.

Apapun bentuk perubahan sosial budaya akan menghasilkan suatu bentuk, pola, dan kondisi kehidupan masyarakat yang baru. Sebagai bagian dari masyarakat kita harus menentukan sikap terhadap dampak perubahan sosial budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sikap apriori yang berlebihan tentu saja tidak perlu, mengingat sikap tersebut merupakan salah satu penyebab terhambatnya proses perubahan sosial budaya yang berujung pada terhambatnya proses perkembangan masyarakat dan modernisasi. Demikian juga dengan sikap menerima setiap perubahan tanpa terkecuali. Sikap tersebut cenderung akan membuat kita meniru (imitasi) terhadap setiap perubahan sosial budaya yang terjadi, meskipun perubahan tersebut mengarah pada perubahan yang bersifat negatif.

Masyarakat diharapkan mampu memiliki dan mengembangkan sikap kritis terhadap proses perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya yang bersifat positif dapat kita terima untuk memperkaya khazanah kebudayaan bangsa kita, sebaliknya perubahan sosial budaya yang bersifat negatif harus kita saring dan kita cegah perkembangannya dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam pelaksanaannya, kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman dengan memperluas pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang. Namun di sisi lain, nilai-nilai dan norma kehidupan bangsa yang luhur harus dapat terus kalian jaga dan lestarikan dan perlulah diingat bahwa Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan syarat dukungan sumber daya yang berkualitas melalui peningkatan dalam bidang pendidikan.

KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA DAKWAH DALAM POTRET MINIATUR INDONESIA

KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA DAKWAH DALAM POTRET MINIATUR INDONESIA
oleh: Siti Haifa Octaviarini
RESENSI BUKU: Pengembangan Metode Dakwah: Respon Da’I terhadap dinamika kehidupan beragama di kaki ciremai karya Dr.Acep Aripudin


Judul buku:Pengembangan Metode Dakwah: Respon Da’I terhadap dinamika kehidupan beragama di kaki ciremai
Penulis :Dr.Acep Aripudin
Penerbit :PT Raja Grafindo persada, Jakarta
Harga Buku :Rp. 50.000,00
Tebal, jumlah halaman :23 cm, 248 hlm.
Edisi, Tahun terbit :Edisi I cetakan ke-1, November 2011

Sebaik apapun maddah dapat ditolak manakala dakwah disampaikan dengan metode yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-psikologi manusia senada dengan Peribahasa arab “Athariqatu ahamimu min al-madah” bahwa metode lebih penting daripada materi seperti yang dikutip dalam kata pengantar oleh cendekiawan muslim, guru besar Prof. DR. Azyumardi Azra M.A. dalam buku ini menguak bagaimana realitas yang terjadi didalam masyarakat sehingga keprofesionalan da’I dengan segala keterampilan, kecakapan, dan contoh perilaku harus diperhitungkan agar tujuan dan feedback dalam dakwah diperoleh.

Pendekatan dakwah berdasarkan isu dakwah yang membangkitkan sentiment emosional umat Islam dari berbagai media informasi seakan membiaskan problem yang seharusnya (degradasi moral, keterbelakangan pendidikan, pengangguran, kriminalitas,dll) diangkat ke permukaan untuk menjadi main course yang harus disantap da’I dengan problem solving tentunya. metode pendekatan dakwah melalui penyesuaian dengan kondisi social-budaya manusia dan metode pendekatan dakwah melalui pengembangan ekonomi, pendidikan, cultural dirasa lebih mengena dalam konteks masyarakat Indonesia dewasa ini.

Seakan si penulis faham dengan realita tersirat, pria yang merupakan lulusan S3 konsentrasi Islamic studies konsentrasi dakwah dan komunikasi dari sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta menyajikan tawaran metode pendekatan dakwah yang lebih kolektif yang diperlukan pada masa kini dengan kenyataan bahwa metode pendekatan dakwah bersifat kontinu dan dinamis mengikuti dinamika perkembangan masyarakat yang menjadi subjek sekaligus objek dakwah.
Melalui celah dari salah satu sudut kecil di kabupaten kuningan, jawa barat yang memiliki tipologi masyarakat cultural dinamis yang pluralistic, sang dosen studi dakwah dan pengembangan masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung membeberkan secara detail tentang kompleksitas dakwah yang terjadi di daerah ini karena adanya fenomena konversi agama sebagai konsekuensi dakwah akibat isu arus demonstrasi dan modenisasi yang mengusung HAM karena faktor pluralistic agama seperti islam, khatolik, protestan, hindu, budha dan penganut aliran kebatinan yang dipelopori Madrais (Agama Djawa Sunda).

Hasilnya, Semakin kuat tingkat dinamika social, budaya dan agama, semakin kuat pula tekanan metode dakwah yang dilakukan da’i. metode dakwah bi al-hikmah dan al-maw’izah al-hasanah relevan dan bertahan diterapkan da’I pada masyarakat sederhana dan homogen secara social, budaya maupun dalam penganutan agama. Penerapan metode bi al-mujadalah dan bi al-hal merupakan respon da’I terhadap inovasi neo-ADS yang lebih signifikan dengan kebutuhan mad’u serta sesuai tuntutan. Sebagai pengembangan metode dakwah setelah munculnya penganut penghayat, umat katholik, dan pengikut protestan.

Penerapan metode ini merupakan bentuk signifikasi metode dakwah dengan kondisi mad’u setelah belajat dan berinteraksi yang mengarah pada bentuk dakwah kolektif dimana adanya keterlibatan da’I dalam membentuk dan membina masyarakat dalam pemberdayaan sehingga menerminkan dakwah dinilai lebih konsruktif. Penyuguhan dakwah metode dialog dan bil-hal dinilai relevan dengan kebutuhan masyarakat tanpa melihat background perbedaan agama suatu pemahaman islam yang lebih inklusif yang tidak hanya ditujukan kepada umat islam tetapi juga non islam.
Dengan penjabaran yang sistematis dan runtut Dr. acep Aripudin yang mendapatkan gelar S1 di fakultas Ushuluddin (1996) dan megister (S2) prodi studi masyarakat islam (2000) UIN Sunan Gunung Djati Bandung membagi bukunya ke dalam 5 bab pokok pembahasan yaitu dakwah, komunikasi dan teori belajar social; setting sosal lokasi studi; penerapan metode dakwah bi al-hikmah dan al-maw’izah al-hasanah; penerapan metode bi al-mujadalah; penerapan metode bil hal yang dapat disimpulkan bahwa respon da’I dalam penerapan metode dakwah ini sangat variatif. Maksudnya, mengalami perubahan sesuai dengan kuatnya dinamika social-budaya dan agama masyarakat.

Pria kelahiran taikmalaya, 29 April 1975 ini melalui Studi kasusnya berusaha mendeskripsikan berbagai dinamika kompleksitas problematika dakwah dengan analisa secara metodologis yang focus pada situasi cultural dan kemajemukan masyarakat. Berbagai pendekatan yang menarik melaui perspektif sosiologi, antropologi dan komunikasi digunakan oleh penulis yang sedang meneliti tentang tipologi pertahanan dan kejatuhan pesantren di jawa barat dan geneologi dakwah kaum sufi di Indonesia ini.

Sebuah penelitian yang dibukukan sehingga kesistematisan, kepaduan, kelogisan teramat apik dengan penggunaan bahasa ilmiah yang sedikit menyulitkan dipahami dan adanya sedikit kesalahan penulisan dapat ditepis dengan penjelasan kembali secara detail di bagian footnote yang memberikan kesan sempurna dalam pemberian informasi kepada pembaca.

Dr. Acep Aripudin telah Memberikan suatu metode pendekatan dakwah yang menuntut keterbukaan dan memperkenalkan Islam yang non spektarian dan lebih dialogis dari para da’I melaui proses penerapan metode dakwah berdasarkan respond da’I terhadap dinamika kehidupan beragama dengan penggunaan metode pendekatan yang bersifat kooperatif, akomodatif dan dialektik sebagai konsekuensi logis pemahaman para da’I terhadap islam.

Dengan adanya sebuah master piece ini, memberikan kontribusi penting bagi metodologi dan substansi dakwah terhadap masyarakat plural multicultural dalam hal agama, budaya dan social. Buku ini tidak hanya bacaan urgent bagi akademisi fakultas dakwah dan komunikasi karena seakan membuka gerbang selebar-lebarnya untuk akademisi mengkaji dakwah dengan kerangka piker sosiologis bukan lagi teologis maupun historis. Namun, para da’I, mubaligh, dan ulama yang menjadi agent social of change pada tataran praktis dalam menjalankan dakwah dirasa perlu membaca maha karya ini jika ingin memahami medan dakwah yang sebenarnya.