Minggu, 27 Februari 2011

RESENSI NOVEL SANG PEMIMPI: MOZAIK MOZAIK MIMPI

MOZAIK MOZAIK MIMPI
oleh : Siti Haifa Octaviarini



Buku kedua dari tetralogi Laskar pelangi “Sang Pemimpi” novel yang muncul dalam pesimistik parah kehidupan pendidikan di Indonesia. Tema cerita sederhana yang terbungkus kalimat penuh makna karya novelis muda tanpa turunan bakat seni yang tiba-tiba mengeluarkan novel tetralogi best seller, Andrea Hirata. Anak perantauan dari pulat timah Belitung yang berhasil menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Indonesia dan S2nya di Sheffield Hallam University, Inggris.

Berawal dengan mozaik kocak kenakalan bocah dengan gaya pemaparan dan pilihan kata spontan, badung, unik namun realistis yang mengusung pahit getir kehidupan yang dialami sang penulis memperjuangkan mimpi besarnya. Berbicara tentang kemiskinan, keterbatasan dan tragedy kepedihan, ironi, ketololan namun syarat akan kebijaksanaan, kejenakaan, dan kecerdasan intelektual. Keterpurukan yang berujung kemenangan dan cinta. Rangkaian kata yang diaduk dengan ramuan adegan sehingga membuat kita menarik spontan kedua pipi, Cerita yang dituangkan tidak dalam alur yang kokoh melainkan kepingan-kepingan kecil layaknya puzzle yang bila disatukan membentuk maha karya agung dari seorang Andrea Hirata.
Cerita tentang prajurit mimpi di tanah Belitong, kehidupan anak melayu pedalaman yang menggunakan kesengsaraan dan merajut semua impiannya dalam satu statement ambisius
“ingin bersekolah di Sarbonne menjelajahi Eropa sampai Afrika”
. Jalinan kisah yang dibangun apik membius kita mengenal tanah Belitong yang terbalut aura keteguhan dalam sosok Arai. Mempercayai bahwa
“orang miskin seperti kita, tidak akan hidup tanpa mimpi”
sehingga optimism bahwa Tuhan Maha Berkehendak. Sosok imbron yang lemah, lugu, unik, setia kawan dan terobsesi dengan kuda dan Ikal, tokoh sentral yang manusiawi, pemberi pencerahan kdan peduli epada sahabat-sahabatnya.
Suatu mozaik kocak ketika Ikal membuat untaian kata mutiara sebagai pengobar semangat dala kutipan “semua mata memandangku melecehkan, tak pernah Pak Balia meminta dua kali. Memalukan! Aku gemetar karena tak siap. Tapi aku tetap harus berdiri. Tak mungkin menghianati euphoria kelas ini dan pada detik menentukan aku senang sekali, eureka! Sebab aku teringat akan ucapan seniman besar favoritku. Akan ku kutip salah satu syairnya. Aku berdiri tegak-tegak, berteriak. Masa muda masa yang berapi-api! Haji Rhoma Irama (Halaman 77)” sungguh kata-kata ringan yang tak terbayangkan.

Novel pemberi inspirasi bagi orang-orang yang mengalami krisis optimism dan degradasi mental. Novel dengan perpaduan unsur budaya, social, agama, dan sastra. Kolerasi ekonomi nelayan yang berinteraksi dengan ekonomi pengusaha, akulturasi budaya melayu pedalaman dengan tionghoa Cina Kek, nilai moral islami berinteraksi hangat dengan nilai modern. Novel yang mengajak kita merenung akan kebesaran sang Khalik dalam menciptakan skenario hidup yang memesona tersirat dalam mozaik “Tuhan tahu tapi menunggu”. Nove pembangun jiwa dan pembangkit potensi bagi kalangan generasi muda ditengah persimpangan jalan menggapai cita dan mimpi. Meskipun sedikit tak ada korelasi signifikan antara laskar pelangi dan sang pempimpi, tetaplah novel ini memberi pesan keoptimisan dalam membangun semangat jiwa yang rapuh.
Kalimat ringan dan berwibawa namun menusuk relung hati terdalam yang sebenarnya sebuah kritisasi realitas
“tak ada pengecualian! Tak ada kompromi! Katabelence akses istimewa untuk menghianati aturan. Inilah yang terjadi dengan bangsa ini, terlalu banyak kongkalingkong”(halaman 9)
dan suatu cara yang tabu menghadapi sebuah kekecewaan dengan senyuman. Inilah caranya, bukan suatu penyesalan berlarut-larut ataupun nafsu amarah yang meledak, senyuman dapat menyadarkan diri kita suatu cara yang diaplikasikan oleh sesosok pria setengah baya namun tetap tangguh (Bapak Ikal).
Mosaic kedua “simpai keramat” membuat saya mengelus dada, menangis sesenggukan dan hilang kontrol karena hati dan jiwa terbawa suasana ngiris akan penderitaaan hidup namun tercengang akan keoptimisan menjalani misteri hidup ini.

Kedelapan belas episode dalam petualangan mimpi mencari ilmu berputar di sekitar desa Magai yang terletak di bagian timur pulau Belitong yang kaya akan timah namun keadaan masyarakat sekitar tetap melarat. Saya sangat menyarankan bagi siapapun yang haus akan inspirasi untuk meraih sukses dalam hidup, motivasi untuk maju serta kekuatan untuk bangkit agar membaca buku ini lembar demi lembarannya. meski tipis namun tebal dengan inspirasi.

Yang mempunyai mimpi besar,
SITI HAIFA OCTAVIARINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar