Minggu, 12 Februari 2012

PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT DI DAERAH JATINANGOR-KABUPATEN SUMEDANG

ARTIKEL-LAPORAN PENELITIAN

Masyarakat secara sosiologis merupakan suatu kumpulan orang yang memiliki tujuan bersama yang disatukan karena ikatan wilayah atau geografis maupun pemikiran. Seperti halnya makhluk hidup yang lain, masyarakat juga mengalami dinamikanya sendiri. Setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan-perubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.

Konsep Perubahan sosial sebagai realitas sosial dipahami sebagai perubahan dalam struktur social (sebagai suatu system berlapis-lapis dalam masyarakat. Sistem pelapisan dalam masyarakat terjadi karena adanya nilai yang dihargai oleh masyarakat yang jumlahnya terbatas.), yaitu perubahan yang menyangkut berbagai perkembangan dalam masyarakat. Perubahan budaya adalah perubahan yang terjadi pada nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Pengertian sekarang tentang perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi, baik pada struktur sosial maupun pada nilai dan norma dalam masyarakat.

Dampak ledakan penduduk dan industrialisasi di wilayah jatinangor karena adanya urbanisasi berpengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat. Hal ini penulis kategorikan ke dalam bentuk perubahan besar di dalam masyarakat jatinangor. Mengapa? Karena perubahan ini terjadi pada unsure-unsur struktur masyarakat yang membawa pengaruh langsung (berarti) bagi masyarakat. Bagaimanakah pengaruhnya? Sebelumnya, akan dipaparkan beberapa faktor pendorong yang mempengaruhi Perubahan social yang cukup pesat di dalam masyarakat jatinangor diantaranya:

a) Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain
Perkembangan pesat daerah jatinangor dibandingkan daerah-daerah lainnya di kabupaten sumedang dikarenakan letak demografis daerah ini yang cukup strategis. Suatu tempat transisi yang diwarnai hilir mudiknya pendatang (warga luar daerah maupun luar negeri) yang membawa sebuah kebudayaan dari yang hanya sekedar singgah maupun yang menetap karena tujuan ekonomi maupun pendidikan sehingga di daerah ini dinamika penduduk amat dinamis. Akibat adanya interaksi social ini, berimplikasi terhadap Adanya pengaruh suatu kebudayaan masyarakat yang dapat diterima tanpa paksaan (demonstration effect) yang menjadi sebab perubahan social di dalam masyarakat jatinangor.
b) Sistem Terbuka Masyarakat (Open Stratification)
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat jatinangor tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Masyarakat jatinangor yang termasuk masyarakat heterogen dengan berbagai latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan baru dalam masyarakat dalam upayanya untuk mencapai keselarasan sosial.
c) Orientasi ke Masa Depan
Kuliah yang diwarnai oleh tugas-tugas kemahasiswaan didukung oleh adanya penyediaan sarana oleh warga dengan membuka usaha untuk mengadakan fasilitas informasi melalui warung internet, rental, fotocopy, dll. Dengan adanya perkembangan teknologi di era globalisasi ini menuntut warga untuk mengenal dan memahami ilmu teknologi, informasi dan komunikasi. Proses belajar yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman ini merupakan wujud Pemikiran masyarakat jatinangor yang selalu berorientasi ke masa depan, selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru (discovery).
Berdasarkan realitas ini, Pola perubahan yang terjadi di masyarakat jatinangor ini terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. sesuai dengan Teori Evolusi yang diusung oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer yang melihat perubahan sosial berlangsung secara evolusi (perlahan dan bertahap) mengikuti perubahan yang linier atau menurut garis lurus dan melalui tahapan demi tahapan yang harus dilalui.
Sebelum 10 tahun terakhir kawasan Jatinangor (dahulu bernama cikeruh) yang merupakan perbatasan bandung-sumedang merupakan lahan perkebunan karet dan ladang petanian, sehingga sebagian penduduk bekerja sebagai petani. Namun seiring perkembangan yang terjadi, banyak warga yang menjual lahannya (kepentingan ekonomi) sehingga para petanipun beralih pekerjaan diluar sector pertanian seperti menjadi tukang bangunan, tukang ojek, pedagang, buruh pabrik, bahkan melakukan transmigrasi ke daerah yang masih memiliki lahan pertanian dikarenakan kawasan ini dinilai memiliki progress yang cukup baik.
Menurut pemaparan pengelola saung budaya, Lima tahun yang lalu di daerah jatinangor tepatnya di samping ikopin adanya pusat kegiatan seni sunda yang dinamakan saung budaya dimana setiap minggunya secara rutin diadakan kegiatan seni sunda sebahai sarana apresiasi seni rakyat dalam wujud tarian, seni gamelan, pameran lukisan dll. Namun, melihat perkembangan yang terjadi (prospek daerah ini cocok untuk kegiatan ekonomi) saung ini beralihfungsi menjadi foodcourt.
Seiring dengan hal tersebut, maka lahan petanian telah beralih fungsi dengan hampir 40% adalah komplek kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri atau IPDN, dan 20% digunakan sebagai perumahan yang dijadikan rumah kos-kosan mahasiswa dan sisanya merupakan komplek pesantren al-ashar yang menjadi tempat pendidikan untuk setingkat SMP dan SMA, bangunan sekolah tingkat SD-SMP-SMA serta arena olah raga, stasiun pengisian bahan bakar (SPBU), hotel, perkantoran, dan pertokoan yang menyediakan barang dan jasa. Karena saat ini Di daerah jatinangor sebagian penduduknya berasal dari pendatang luar Desa Cibeusi termasuk para mahasiswa yang datang dari luar daerah maupun luar negeri (india, Pakistan, malaysia) yang menetap sebagai warga selama mengenyam pendidikan di kawasan ini.
Jalan-jalan lingkungan sudah tidak lagi berupa tanah, tetapi sudah berubah menjadi jalan aspal, batu maupun beton. sehingga penyerapan air semakin sulit. sebagian besar penduduk sudah banyak yang menggunakan sepeda motor karena jalanan sudah bagus. Dilingkungan sekitar pemukiman sudah jarang dilihat pohon-pohon perindang yang menjadi peneduh, karena sebagian besar lahan sudah dijadikan kos-kos-an

Jatinangor sebagai pusat pendidikan memunculkan banyak pendatang yang tujuannya menuntut ilmu sehingga memberikan peluang kepada penduduk pribumi untuk membuka lapangan kerja baru sehingga sector usaha kecil dan menengah mengalami perkembangan. Namun kedatangan orang-orang baru ini tidak hanya berdampak positif, karena mulai adanya kesenjangan antara kaum pribumi dengan pendatang melalui Perbedaan status sosial dan tingkat kemakmuran dalam masyarakat jatinangor secara tidak sadar mulai membentuk sebuah stratifikasi dimana adanya kelas masyarakat atas, menengah dan bawah sesuai faktor ekonomi dan pendidikan yang sinkron dengan kaum intelektual, para pedagang, buruh, dan pengusaha. Fenomena ini sesuai dengan asumsi dasar dalam Teori Konflik yang mengatakan bahwa setiap individu berpotensi mengadung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok) sehingga Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi (maksud disintegrasi menurut teori ini dinamakan perubahan social).

Kebutuhan akan rasa aman dan keamanan (save and safety needs) dan kebutuhan social (social needs) yang sesuai hierarki Abraham maslow yang tidak terpenuhi menimbulkan friksi kecil di dalam masyarakat Jatinangor dengan meningkatnya kriminalitas yang merupakan konflik pendorong perubahan social. Realita ini sejalan dengan Teori Kebutuhan Manusia yang Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Dan teori transformasi konflik yang Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Telah dijelaskan di depan bahwa perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. bentuk kemunduran akibat adanya perubahan sosial budaya terasa dengan Tergesernya bentuk-bentuk budaya lokal oleh budaya lain yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional dan Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama. Misalnya: Selama 10 tahun terakhir dengan banyaknya pendudukan atau warga pendatang yang berasal dari luar Desa Cibeusi, pada umumnya tidak bisa bahasa Sunda, menyebabkan warga setempat sudah meninggalkan bahasa Sunda dan lebih sering menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi antar penduduk dengan warga pendatang.

Peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat non agraris yang mengarah kepada masyarakat yang lebih kompleks mengubah pola prilaku masyarakat terutama nilai-nilai atau norma yang sejak dahulu berkembang di dalam masyarakat, mungkin sebagai implikasi tidak langsung dari modernisasi yang merupakan wujud dinamika social. Hal ini jelas terungkap terutama melihat berkurangnya nilai-nilai kesopanan yang cenderung ke arah individualistic.

Dari segi kesenian tradisional Sunda juga sudah tidak diajarkan disekolah-sekolah atau keluarga tetapi berganti dengan kesenian yang lebih popular. Seperti terlihat di salah satu sekolah SMP yang mengadakan pelatihan kesenian tradisional sudah tidak lagi mengajarkan kesenian Sunda tetapi mengajarkan kesenian dan lagu-lagu berbahasa Indonesia yang sedang trend di masyarakat.

Selain itu pakaian yang digunakan penduduk asli sudah tidak lagi menggunakan pakaian tradisional Sunda tetapi sudah menggunakan pakaian modern dan pakaian yang biasa digunakan oleh para pendatang. Prilaku penduduk setempat terutama para remajanya sudah mengikuti gaya hidup mahasiswa yang kos ditempat tersebut, seperti kehidupan malam, judi, merokok, minum-minuman bahkan pergaulan bebas. Sehingga banyak orang tua yang merasa khawatir dengan kondisi kehidupan remaja kedepannya kalau tidak diawasi atau dijaga.

Namun, Teori Struktural Fungsional yang memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang tediri dari unsur-unsur sistem. Tiap unsur saling berhubungan secara fungsional satu dengan lainnya, sehingga rusaknya salah salah satu unsur sistem akan menyebabkan jalannya sistem secara keseluruhan menjadi terganggu. Yang diperkenalkan oleh Robert K. Merton, Kingsley Davis dan Talcott Parsons. Dalam teori ini Perubahan sosial dianggap fungsional sejauh perubahan tersebut membawa dampak positif bagi masyarakatnya.

Masyarakat setempat sadar sebenarnya telah banyak terjadi perubahan baik dari secara fisik maupun sosial- budaya, akibat berdirinya kampus-kampus dan datangnya penduduk dari luar Desa Cibeusi dan dari mahasiswa yang kos ditempat tersebut. Untuk mempertahankan diri terhadap perubahan yang ada warga setempat tetap mempertahan adat-istiadat Sunda dengan mendidik anak-anak mereka dengan ajaran dan nilai-nilai Sunda. Pendidikan ini tidak diberikan secara formal disekolah tetapi diberikan di rumah masing-masing. Selain pendidikan ajaran dan nilai-nilai Sunda, masyarakat juga masih melestarikan tradisi dan adat dalam upacara kelahiran anak, perkawinan, kematian dan pertanian bahkan kegiatan keagamaan lainnya.
Penduduk asli Desa Cibeusi juga masih mempertahankan tradisi kegotong-royongan dalam kehidupan bermasyarakat seperti kerja bakti, menyantuni orang miskin, bencana, dan pembangunan desa lainnya. Ini dapat dilihat setiap minggu masih selalu diadakan kegiatan kerja bakti untuk memperbaiki fasilitas masyarakat. Aktivitas penduduk lainnya yang mencerminkan penduduk desa dan masyarakat Sunda, yaitu masih diadakan kegiatan pengajian bersama setiap malam jumat, dan pengajian akbar di mesjid besar. Beberapa mushola dan mesjid masih dipadati penduduk yang menjalankan tradisi ibadah sholat lima waktu.

Apapun bentuk perubahan sosial budaya akan menghasilkan suatu bentuk, pola, dan kondisi kehidupan masyarakat yang baru. Sebagai bagian dari masyarakat kita harus menentukan sikap terhadap dampak perubahan sosial budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sikap apriori yang berlebihan tentu saja tidak perlu, mengingat sikap tersebut merupakan salah satu penyebab terhambatnya proses perubahan sosial budaya yang berujung pada terhambatnya proses perkembangan masyarakat dan modernisasi. Demikian juga dengan sikap menerima setiap perubahan tanpa terkecuali. Sikap tersebut cenderung akan membuat kita meniru (imitasi) terhadap setiap perubahan sosial budaya yang terjadi, meskipun perubahan tersebut mengarah pada perubahan yang bersifat negatif.

Masyarakat diharapkan mampu memiliki dan mengembangkan sikap kritis terhadap proses perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya yang bersifat positif dapat kita terima untuk memperkaya khazanah kebudayaan bangsa kita, sebaliknya perubahan sosial budaya yang bersifat negatif harus kita saring dan kita cegah perkembangannya dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam pelaksanaannya, kita harus mampu mengikuti perkembangan zaman dengan memperluas pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang. Namun di sisi lain, nilai-nilai dan norma kehidupan bangsa yang luhur harus dapat terus kalian jaga dan lestarikan dan perlulah diingat bahwa Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan syarat dukungan sumber daya yang berkualitas melalui peningkatan dalam bidang pendidikan.

KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA DAKWAH DALAM POTRET MINIATUR INDONESIA

KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA DAKWAH DALAM POTRET MINIATUR INDONESIA
oleh: Siti Haifa Octaviarini
RESENSI BUKU: Pengembangan Metode Dakwah: Respon Da’I terhadap dinamika kehidupan beragama di kaki ciremai karya Dr.Acep Aripudin


Judul buku:Pengembangan Metode Dakwah: Respon Da’I terhadap dinamika kehidupan beragama di kaki ciremai
Penulis :Dr.Acep Aripudin
Penerbit :PT Raja Grafindo persada, Jakarta
Harga Buku :Rp. 50.000,00
Tebal, jumlah halaman :23 cm, 248 hlm.
Edisi, Tahun terbit :Edisi I cetakan ke-1, November 2011

Sebaik apapun maddah dapat ditolak manakala dakwah disampaikan dengan metode yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-psikologi manusia senada dengan Peribahasa arab “Athariqatu ahamimu min al-madah” bahwa metode lebih penting daripada materi seperti yang dikutip dalam kata pengantar oleh cendekiawan muslim, guru besar Prof. DR. Azyumardi Azra M.A. dalam buku ini menguak bagaimana realitas yang terjadi didalam masyarakat sehingga keprofesionalan da’I dengan segala keterampilan, kecakapan, dan contoh perilaku harus diperhitungkan agar tujuan dan feedback dalam dakwah diperoleh.

Pendekatan dakwah berdasarkan isu dakwah yang membangkitkan sentiment emosional umat Islam dari berbagai media informasi seakan membiaskan problem yang seharusnya (degradasi moral, keterbelakangan pendidikan, pengangguran, kriminalitas,dll) diangkat ke permukaan untuk menjadi main course yang harus disantap da’I dengan problem solving tentunya. metode pendekatan dakwah melalui penyesuaian dengan kondisi social-budaya manusia dan metode pendekatan dakwah melalui pengembangan ekonomi, pendidikan, cultural dirasa lebih mengena dalam konteks masyarakat Indonesia dewasa ini.

Seakan si penulis faham dengan realita tersirat, pria yang merupakan lulusan S3 konsentrasi Islamic studies konsentrasi dakwah dan komunikasi dari sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta menyajikan tawaran metode pendekatan dakwah yang lebih kolektif yang diperlukan pada masa kini dengan kenyataan bahwa metode pendekatan dakwah bersifat kontinu dan dinamis mengikuti dinamika perkembangan masyarakat yang menjadi subjek sekaligus objek dakwah.
Melalui celah dari salah satu sudut kecil di kabupaten kuningan, jawa barat yang memiliki tipologi masyarakat cultural dinamis yang pluralistic, sang dosen studi dakwah dan pengembangan masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung membeberkan secara detail tentang kompleksitas dakwah yang terjadi di daerah ini karena adanya fenomena konversi agama sebagai konsekuensi dakwah akibat isu arus demonstrasi dan modenisasi yang mengusung HAM karena faktor pluralistic agama seperti islam, khatolik, protestan, hindu, budha dan penganut aliran kebatinan yang dipelopori Madrais (Agama Djawa Sunda).

Hasilnya, Semakin kuat tingkat dinamika social, budaya dan agama, semakin kuat pula tekanan metode dakwah yang dilakukan da’i. metode dakwah bi al-hikmah dan al-maw’izah al-hasanah relevan dan bertahan diterapkan da’I pada masyarakat sederhana dan homogen secara social, budaya maupun dalam penganutan agama. Penerapan metode bi al-mujadalah dan bi al-hal merupakan respon da’I terhadap inovasi neo-ADS yang lebih signifikan dengan kebutuhan mad’u serta sesuai tuntutan. Sebagai pengembangan metode dakwah setelah munculnya penganut penghayat, umat katholik, dan pengikut protestan.

Penerapan metode ini merupakan bentuk signifikasi metode dakwah dengan kondisi mad’u setelah belajat dan berinteraksi yang mengarah pada bentuk dakwah kolektif dimana adanya keterlibatan da’I dalam membentuk dan membina masyarakat dalam pemberdayaan sehingga menerminkan dakwah dinilai lebih konsruktif. Penyuguhan dakwah metode dialog dan bil-hal dinilai relevan dengan kebutuhan masyarakat tanpa melihat background perbedaan agama suatu pemahaman islam yang lebih inklusif yang tidak hanya ditujukan kepada umat islam tetapi juga non islam.
Dengan penjabaran yang sistematis dan runtut Dr. acep Aripudin yang mendapatkan gelar S1 di fakultas Ushuluddin (1996) dan megister (S2) prodi studi masyarakat islam (2000) UIN Sunan Gunung Djati Bandung membagi bukunya ke dalam 5 bab pokok pembahasan yaitu dakwah, komunikasi dan teori belajar social; setting sosal lokasi studi; penerapan metode dakwah bi al-hikmah dan al-maw’izah al-hasanah; penerapan metode bi al-mujadalah; penerapan metode bil hal yang dapat disimpulkan bahwa respon da’I dalam penerapan metode dakwah ini sangat variatif. Maksudnya, mengalami perubahan sesuai dengan kuatnya dinamika social-budaya dan agama masyarakat.

Pria kelahiran taikmalaya, 29 April 1975 ini melalui Studi kasusnya berusaha mendeskripsikan berbagai dinamika kompleksitas problematika dakwah dengan analisa secara metodologis yang focus pada situasi cultural dan kemajemukan masyarakat. Berbagai pendekatan yang menarik melaui perspektif sosiologi, antropologi dan komunikasi digunakan oleh penulis yang sedang meneliti tentang tipologi pertahanan dan kejatuhan pesantren di jawa barat dan geneologi dakwah kaum sufi di Indonesia ini.

Sebuah penelitian yang dibukukan sehingga kesistematisan, kepaduan, kelogisan teramat apik dengan penggunaan bahasa ilmiah yang sedikit menyulitkan dipahami dan adanya sedikit kesalahan penulisan dapat ditepis dengan penjelasan kembali secara detail di bagian footnote yang memberikan kesan sempurna dalam pemberian informasi kepada pembaca.

Dr. Acep Aripudin telah Memberikan suatu metode pendekatan dakwah yang menuntut keterbukaan dan memperkenalkan Islam yang non spektarian dan lebih dialogis dari para da’I melaui proses penerapan metode dakwah berdasarkan respond da’I terhadap dinamika kehidupan beragama dengan penggunaan metode pendekatan yang bersifat kooperatif, akomodatif dan dialektik sebagai konsekuensi logis pemahaman para da’I terhadap islam.

Dengan adanya sebuah master piece ini, memberikan kontribusi penting bagi metodologi dan substansi dakwah terhadap masyarakat plural multicultural dalam hal agama, budaya dan social. Buku ini tidak hanya bacaan urgent bagi akademisi fakultas dakwah dan komunikasi karena seakan membuka gerbang selebar-lebarnya untuk akademisi mengkaji dakwah dengan kerangka piker sosiologis bukan lagi teologis maupun historis. Namun, para da’I, mubaligh, dan ulama yang menjadi agent social of change pada tataran praktis dalam menjalankan dakwah dirasa perlu membaca maha karya ini jika ingin memahami medan dakwah yang sebenarnya.